pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dick Hartoko bahwa manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan.

Hampir semua tindakan manusia itu merupakan kebudayaan. Hanya tindakan yang sifatnya naluriah saja yang bukan merupakan kebudayaan, tetapi tindakan demikian prosentasenya sangat kecil. Tindakan yang berupa kebudayaan tersebut dibiasakan dengan cara belajar. Terdapat beberapa proses belajar kebudayaan yaitu proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi.

Selanjutnya hubungan antara manusia dengan kebudayaan juga dapat dilihat dari kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaan. Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan yaitu sebagai 1) penganut kebudayaan, 2) pembawa kebudayaan, 3) manipulator kebudayaan, dan 4) pencipta kebudayaan.

Pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian. Dalam rangka survive maka manusia harus mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan berbagai cara.

Hal yang dilakukan oleh manusia inilah kebudayaan. Kebudayaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bisa kita sebut sebagai way of life, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.

1.2 Rumusan Masalah
  1. Manusia Sebagai Pencipta dan Pengguna Kebudayaan?
  2. Pengaruh Budaya Pada Lingkungan?
  3. Proses dan Perkembangan Kebudayaan?
  4. Problematika Kebudayaan?
  5. Perubahan Kebudayaan?





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Manusia Sebagai Pencipta Dan Pengguna Kebudayaan
Budaya tercipta atau terwujud merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan segala isi yang ada di alam raya ini. Manusia di ciptakan oleh tuhan dengan dibekali oleh akal pikiran sehingga mampu untuk berkarya di muka bumi ini dan secara hakikatnya menjadi khalifah di muka bumi ini.  Disamping itu manusia juga memiliki akal, intelegensia, intuisi, perasaan, emosi, kemauan, fantasi dan perilaku.            Dengan semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia maka manusia bisa menciptakan kebudayaan. Ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusia yang menciptakannya dan  manusia dapat hidup ditengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan terus hidup manakala ada manusia sebagai pendudukungnya.

Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia. Hasil karya manusia  menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi manusia terhadap lingkungan alamnya. Sehingga kebudayaan memiliki peran sebagai
  1. Suatu hubungan pedoman antarmanusia atau kelompoknya
  2. Wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kemampuan-kemampuan lain.
  3. Sebagai pembimbing kehidupan dan penghidupan manusia
  4. Pembeda manusia dan binatang
  5. Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berprilaku didalam pergaulan.
  6. Pengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat dan menentukan sikapnya jika berhubungan dengan orang lain.
  7. Sebagai modal dasar pembangunan.
2.2 Pengaruh Budaya Terhadap Lingkungan
Budaya yang dikembangkan oleh manusia akan berimplikasi pada lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Suatu kebudayaan memancarkan suatu ciri khas dari masyarakatnya yang tampak dari luar. Dengan menganalisis pengaruh akibat budaya terhadap lingkungan seseorang dapat mengetahui, mengapa suatulingkungan tertentu akan berbeda dengan lingkungan lainnya dan mengasilkan kebudayaan yang berbeda pula.
Beberapa variabel yang berhubungan dengan masalah kebudayaan dan lingkungan:
  1. Phisical Environment yaitu lingkungan fisik menunjuk kepada lingkungan natural seperti flora, fauna, iklim dan sebagainya.
  2. Cultural Social Environment, meliputi aspek-aspek kebudayaan beserta proses sosialisanya seperti : norma-norma, adat istiadat dan nilai-nilai.
  3. Environmental Orientation and Representation, mengacu pada persepsi dan kepercayaan kognitif yang berbeda-beda pada setiap masyarakat mengenai lingkungannya.
  4. Environmental Behaviordan and Process, meliputi bagaimana masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial.
  5. Out Carries Produc, Meliputi hasil tindakan manusia seperti membangun rumah, komunitas dan sebagainya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan yang berlaku dan dikembangkan dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap pola tata laku, norma, nilai dan aspek kehidupan lainnya yang menjadi ciri khas suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

2.3 Proses Dan Perkembangan Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia oleh karenanya kebudayaan mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perkembangan manusia itu. Perkembangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan manusia itu sendiri, karena kebudayaan diciptakan oleh dan untuk manusia.
Kebudayaan yang dimiliki suatu kelompok sosial tidak akan terhindar dari pengaruh kebudayaan kelompok-kelompok lain dengan adanya kontak-kontak antar kelompok atau melaui proses difusi. Suatu kelompok sosial akan mengadopsi suatu kebudayaan tertentu bilamana kebudayaan tersebut berguna untuk mengatasi atau memenuhi tuntunan yang dihadapinya.
Pengadopsian suatu kebudayaan tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lingkungan fisik. Misalnya iklim topografi sumber daya alam dan sejenisnya. Dari waktu ke waktu, kebudayaan berkembang seiring dengan majunya teknologi (dalamhal ini adalah sistem telekomunikasi) yang sangat berperan dalam kehiduapan setiap manusia.
Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan-perubahan disegala bidang, termasuk dalam kebudayaan. Mau tidak mau kebudayaan yang dianut suatu kelompok sosial akan bergeser. Suatu kelompok dalam kelompok sosialbisa saja menginginkan adanya perubahan dalam kebudayaan yang mereka anut, dengan alasan sudah tidak sesuai lagi dengan zaman yang mereka hadapi saat ini. Namun, perubahan kebudayaan ini kadang kala disalah artikan menjadi suatu penyimpangan kebudayaan.
Hal yang terpenting dalam proses pengembangan kebudayaan adalah dengan adanya kontrol atau kendali terhadap prilaku reguler (yang tampak) yang ditampilkan oleh para penganut kebudayaan. Karena tidak jarang perilaku yang ditampilkan sengat bertolak belakang dengan budaya yang dianut didalam kelompok sosial yang ada di masyarakat. Sekali lagi yang diperlukan adalah kontrol / kendali sosial yang ada di masyarakat sehingga dapat memilah-milah mana kebudayaan yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.

2.4 Problematika Kebudayaan
Seiring dengan perkembangannya, kebudayaan juga mengalami beberapa problematika atau masalah masalah yang cukup jelas yaitu :
  1. Hambatan budaya yang ada kaitannya dengan pandangan hidup dan sistem kepercayaan.
  2. Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan sudut pandang atau persepsi.
  3. hambatan budaya yang berkaitan dengan faktor psikologi atau kejiwaan.
  4. Masyarakat terpencil atau terasing dan kurang komunikasi dengan masyarakat lainnya.
  5. Sikap Tradisionalisme yang berprasangaka buruk terhadap hal-hal yang baru
  6. Mengagung-agungkan kebudayaan suku bangsanya sendiri dan melecehkan budaya suku bangsa lainnya atau lebih dikenal dengan paham Etnosentrisme.
  7. Perkembangan Iptek sebagai hasil dari kebudayaan.
2.5 Perubahan Kebudayaan
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kebudayaan mengalami perkembangan (dinamis) sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri, oleh sebab itu tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Dengan demikian, kebudayaan akan mengalami perubahan. Adalima penyebab terjadi perubahan kebudayaan yaitu:
  1. Perubahan lingkungan alam
  2. Perubahan yang disebabkan adanya kontak dengan kelompok lain
  3. Perubahan karena adanya penemuan (discovery)
  4. Perubahan yang terjadi karena suatu masyarakat atau bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah dikembangkan oleh bangsa lain ditempat lain.
  5. Perubahan yang terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara hidupnya dengan mengadopsisuatu pengetahuan atau kepercayaan baru atau karena perubahan dalam pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas.
Namun, perubahan kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa dan rasa manusia adalah tentu saja perubahan yang memberi nilai manfaat bagi manusia dan kemanusian, bukan sebaliknya yaitu yang akan memusnakan manusia sebagai pencipta kebudayaan tersebut.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari Uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan akan terus berhadapan dengan problematika kebudayaan. Salah satu yang harus diperhatikan yaitu bagaimana kita menyikapi perubahan dan perkembangan kebudayaan. Kebudayaan akan terus mengalami perubahan selama manusia hidup dimuka bumi ini karena kebudayaan bersifat dinamis. Dan yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana kita menyikapi dan memilah milah kebudayaan asing yang masuk dan mengintervensi kebudayaan asli yang kita kita miliki.

3.2 Saran
Sebagai bangsa yang besar dan memiliki keanekaragaman budayasudah sepantasnya kita menjaga dan melestarikan kebudayaan yang kita miliki. Disamping itu kita juga harus membudayakan rasa bangga atas kebudayaan yang kita miliki dan tidak malu untuk memakainya.
All Rights Reserved. VISI BUNDA
Designed by Web2Feel | Converted into Blogger Templates by Theme Cra


Definisi Kebudayaan
“Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.” (Hlm. 2-18 alinea I)
“Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya.” (Hlm. 2-19 alinea III)
“Sebagai pengetahuan, kebudayaan adalah suatu satuan ide yang ada dalam kepala manusia dan bukan suatu gejala (yang terdiri atas kelakuan dan hasil kelakuan manusia). Sebagai satuan ide, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai-nilai, norma-norma yang berisikan larangan-larangan untuk melakukan suatu tindakan dalam menghadapi suatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam, serta berisi serangkaian konsep-konsep dan model-model pengetahuan mengenai berbagai tindakan dan tingkah laku yang seharusnya diwujudkan oleh pendukungnya dalam menghadapi suatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam. Jadi nilai-nilai tersebut dalam penggunaannya adalah selektif sesuai dengan lingkungan yang dihadapi oleh pendukungnya.” (Hlm. 2-19/2-20 alinea terakhir).
“…melihat kebudayaan sebagai: (1) Pengetahuan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut; (2) Kebudayaan adalah milik masyarakat manusia, bukan daerah atau tempat yang mempunyai kebudayaan tetapi manusialah yang mempunyai kebudayaan; (3) Sebagai pengetahuan yang diyakini kebenarannya, kebudayaan adalah pedoman menyeluruh yang mendalam dan mendasar bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan; (4) Sebagai pedoman bagi kehidupan, kebudayaan dibedakan dari kelakuan dan hasil kelakuan; karena kelakuan itu terwujud dengan mengacu atau berpedoman pada kebudayaan yang dipunyai oleh pelaku yang bersangkutan.
Sebagai pengetahuan, kebudayaan berisikan konsep-konsep, metode-metode, resep-resep, dan petunjuk-petunjuk untuk memilah (mengkategorisasi) konsep-konsep dan merangkai hasil pilahan untuk dapat digunakan sebagai pedoman dalam menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi dan dalam mewujudkan tindakan-tindakan dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan dan sumber-sumber dayanya dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk kelangsungan hidup. Dengan demikian, pengertian kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan adalah sebagai pedoman dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.” (Hlm. 4-1 alinea II & III)
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Sebagai pengetahuan, kebudayaan dengan demikian adalah suatu satuan ide yang ada dalam kepala manusia dan bukannya suatu tindakan yang merupakan satuan gejala. Sebagai suatu satuan ide yang menjadi pedoman bagi tingkah lakunya, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai-nilai, norma-norma, dan model-model pengetahuan, baik dengan secara sadar maupun tidak, baik secara rasionil maupun secara intuitif dan penuh perasaan, telah digunakan secara selektif oleh yang bersangkutan untuk memahami dan menjadi pedoman tingkah lakunya dalam menghadapi lingkungan alam, sosial, dan budaya.” (Hlm. 5-6 alinea II & III)
Unsur kebudayaan
“… Sehingga dalam kajian mengenai kebudayaan, kebudayaan dilihat sebagai terdiri atas unsur-unsur yang masing-masing berdiri sendiri tetapi satu sama lainnya berkaitan dalam usaha-usaha pemenuhan kebutuhan manusia. Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah: (1) Bahasa dan komunikasi; (2) Ilmu Pengetahuan; (3) Teknologi; (4) Ekonomi; (5) Organisasi Sosial; (6) Agama; dan (7) Kesenian.” (Hlm. 2-3 alinea III)
“Setiap kebudayaan terdiri atas unsur-unsur yang universal, yaitu: struktur sosial, sistem politik, sistem ekonomi dan teknologi, sistem agama, serta sistem bahasa dan komunikasi.” (Hlm. 2-19 alinea III)











Manusia dan Kebudayaan 

Manusia (Human)
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seoang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh kaena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan.

Oleh karena itu lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap manusia itu sendiri, hal ini dapat dilihat pada gambar siklus hubungan manusia dengan lingkungan sebagai berikut:

Siklus Hubungan Manusia
Gambar di atas menggambarkan bahwa lingkungan dan manusia atau manusia dan lingkungan merupakan hal yang tak terpisahkan sebagai ekosistem, yang dapat dibedakan mejadi:
- Lingkungan alam yang befungsi sebagai sumber daya alam
- Lingkungan manusia yang berfungsi sebagai sumber daya manusia
- Lingkungan buatan yang berfungsi sebagai sumber daya buatan

Manusia pada dasarnya adalah makhluk budaya yang harus membudayakan dirinya. Manusia sebagai makhluk budaya mampu melepaskan diri dari ikatan dorongan nalurinya serta mampu menguasai alam sekitarnya dengan alat pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini berbeda dengan binatang sebagai makhluk hidup yang sama-sama makhluk alamiah dengan manusia dia tidak dapat melepaskan dari ikatan dorongan nalurinya dan terikat erat oleh alam sekitarnya.

Istilah kebudayaan berasal dari kata budh berasal dari bahasa Sansekeerta. Dari kata budh ini kemudian dibentuk kata budhayah yang artinya bangun atau sadar. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah culture.

Havinghust dan Neugarten menyatakan bahwa kebudayaan dapat didefinisikan sebagai cara bertingkah laku, etiket, bahasa, kebiasaan, kepercayaan agama dan moral, pengetahuan, sikap dan nilai-nilai yang merupakan hasil karya manusia seperti halnya bermacam-macam benda termasuk di dalamnya alat-alat teknologi. Dari pendapat ini dapat kita ketahui bahwa kebudayaan dapat berujud tingkah laku, hal-hal yang berupa rohaniah dapat pula berupa barang-barang material.

Driyarkara S.Y. (pengasuh Majalah Basisi, 1980,p-83-84) menjelaskan bahwa kebudayaan dalam arti yang luas mempunyai empat segi atau empat aspek. Empat aspek itu adalah :

  1. Aspek ekonomi, dalam aspek ini manusia dengan tangannya mengubah barang-barang tertentu menjadi suatu barang yang berguna bagi manusia.
  2. Aspek teknik, dalam aspek ini manusia dengan menggunakan tangan-tangan dan kemungkinan-kemungkinan serta sifat-sifat yang ada pada barang tertentu, hukum-hukum yang ada dalam barang-barang tertentu dari benda-benda alam disusun menjadi sesuatu hal yang baru dan bernilai tambah.
  3. Kebudayaan dalam arti khas dan sempit, juga dalam mengubah barang-barang itu manusia mengekspresikan dirinya, sebagai contoh: mengubah atau mengolah tanah liat menjadi patung yang menimbulkan rasa baru dan menggetarkan jiwa manusia atau mengekspresikan diri dan budinya pada patung tersebut.
  4. Aspek penghalusan atau sivillasi, aspek ini merupakan lanjutan dari aspek ketiga diatas. Dalam aspek ini manusia dengan mengekspresikan dirinya, manusia berusaha untuk mencari hal-hal yang lebih halus, enak, lincah dan licin sehingga hidupnya dapat meluncur mudah.

Kaitan antara pendidikan dan kebudayaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan, pendidikan adalah bagian integral dari kebudayaan. Dengan kata lain pendidikan adalah proses pembudayaan manusia. Karena kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia. Hasil budi daya itu tidak hanya berupa hasil pembudayaan manusia yang disebut hasil pendidikan.
Hasil budi daya manusia itu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Oleh karena itu ada bermacam-macam budaya. Adanya macma-macam budaya itu dapat menjadi motivasi persatuan dan perpecahan serta dapat juga dipergunakan sebagai inspirasi dan motivasi pembangunan bangsa Indonesia.

Oleh karena itu pendidikan digunakan untuk mentransformasikan nilai budaya bangsa Indonesia dalam rangka mengembangkan budaya Indonesia. Pengembangan kebudayaan harus berorientasi pada Pancasila, UUD 1945 dan GBHN (dahulu sebelum revormasi, sekarang, "?")

Pengembangan pendidikan dan kebudayaan hanya dapat berjalan dengan baik jika sekolah dijadikan pusat kebudayaan. Sekolah dapat menjadi pusat kebudayaan jika dapat meningkatkan mutu pendidikan, dapat menciptakan masyarakat belajar, dapat menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya dan dapat membentuk manusia Indonesia seutuhnya.

Budaya (Culture)
Kata budaya merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya kata budaya hanya dipakai sebagai singkatan kata kebudayaan, yang berasal dari Bahasa Sangsekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Budaya atau kebudayaan dalam Bahasa Belanda di istilahkan dengan kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture. Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

Definisi budaya dalam pandangan ahli antropologi sangat berbeda dengan pandangan ahli berbagai ilmu sosial lain. Ahli-ahli antropologi merumuskan definisi budaya sebagai berikut:

E.B. Taylor: 1871 berpendapat bahwa budaya adalah: Suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.

Sedangkan Linton: 1940, mengartikan budaya dengan: Keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.
Adapun Kluckhohn dan Kelly: 1945 berpendapat bahwa budaya adalah: Semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik yang eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, yang ada pada suatu waktu, sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia

Lain halnya dengan Koentjaraningrat: 1979 yang mengatikan budaya dengan: Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Berdasarkan definisi para ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa unsur belajar merupakan hal terpenting dalam tindakan manusia yang berkebudayaan. Hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan belajar.

Dari kerangka tersebut diatas tampak jelas benang merah yang menghubungkan antara pendidikan dan kebudayaan. Dimana budaya lahir melalui proses belajar yang merupakan kegiatan inti dalam dunia pendidikan.

Selain itu terdapat tiga wujud kebudayaan yaitu :
  • Wujud pikiran, gagasan, ide-ide, norma-norma, peraturan,dan sebagainya. Wujud pertama dari kebudayaan ini bersifat abstrak, berada dalam pikiran masing-masing anggota masyarakat di tempat kebudayaan itu hidup.
  • Aktifitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat. Sistem sosial terdiri atas aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat kelakuan. Sistem sosial ini bersifat nyata atau konkret;
  • Wujud fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat.
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.

Hubungan Antar Manusia dan Kebudayaan

Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dick Hartoko bahwa manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan. Hampir semua tindakan manusia itu merupakan kebudayaan. Hanya tindakan yang sifatnya naluriah saja yang bukan merupakan kebudayaan, tetapi tindakan demikian prosentasenya sangat kecil. Tindakan yang berupa kebudayaan tersebut dibiasakan dengan cara belajar. Terdapat beberapa proses belajar kebudayaan yaitu proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi.

Selanjutnya hubungan antara manusia dengan kebudayaan juga dapat dilihat dari kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaan. Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan yaitu:)
1) penganut kebudayaan,
2) pembawa kebudayaan,
3) manipulator kebudayaan, dan
4) pencipta kebudayaan.

Pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian. Dalam rangka survive maka manusia harus mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan berbagai cara.

Hal yang dilakukan oleh manusia inilah kebudayaan. Kebudayaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bisa kita sebut sebagai way of life, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.

Manusia Indonesia dan Kebudayaan

Manusia Indonesia dalam hal kebudayaan saat ini mengalami berbagai rintangan dan halangan untuk menerima serbuan kebudayaan asing yang masuk lewat Globalisasi (perluasan cara-cara sosial melalui antar benua). Dalam hal ini teknlogi informasi dan komunikasi yang masuk ke Indonedia turut merobah cara kebudayaan Indonesia tersebut baik itu kebudayaan nasional maupun kebudayaan murni yang ada di setiap daerah di Indonesia. Dalam hal ini sering terlihat ketidakmampuan manusia di Indonesia untuk beradaptasi dengan baik terhadap kebudayaan asing sehingga melahirkan perilaku yang cenderung ke Barat-baratan (westernisasi). Hal tersebut terlihat dengan seringnya remaja/i Indonesia keluar-masuk pub, diskotik dan tempat hiburan malam lainnya berikut dengan berbagai perilaku menyimpang yang menyertainya dan sering melahirkan komunitas tersendiri terutama di kota-kota besar dan metropolitan. Dalam hal ini terjadinya berbagai kasus penyimpangan seperti penyalah gunaan zat adiktif, berbagai bentuk kategori pelacuran dan ‘western’ lainnya tak lepas dari ketidak mampuan manusia Indonesia dalam beradaptasi sehingga masih bersikap ‘conform’ dan ‘latah’ terhadap kebudayaan asing yang melenyapkan inovasi dalam beradaptasi dengan budaya asing sehingga melahirkan bentuk akulturasi. Bila dikaji dengan teliti hal tersebut mungkin dikarenakan ciri-ciri manusia Indonesia lama yang masih melekat seperti percaya mitos dan mistik, sikap suka berpura-pura, percaya takhyul yang dimodifikasi, konsumerisme, suka meniru, rendahnya etos kerja dan lain sebagainya bisa jadi mengakibatkan terhambatnya akulturasi (percampuran dua/lebih kebudayaan yang dalam percampurannya masing-masing unsurnya lebih tampak). Sikap etnosentrime (kecenderungan setiap kelompok untuk percaya begitu saja akan keunggulan/superioritas kebudayaannya sendiri dan sikap senosentrisme (sikap yang lebih menyenangi pandangan/produk asing) merupakan hal selanjutnya yang dapat menghambat terwujudnya kebudayaan nasional untuk kemajuan bangsa dan negara.

Sepertinya, sudah saatnya manusia Indonesia berikut dengan berbagai kebudayaan daerahnya yang ada melakukan suatu bentuk adaptasi yang sifatnya inovasi/pembaruan dengan budaya Barat/asing seperti dalam hal kesenian dimana instrumen musik tradisional dipadukan dengan instrumen modern (alat-alat band dengan teknologi komputernya) maupun perawatan berbagai benda kebudayaan dengan teknologi asing yang ada sehingga akulturasi dapat diwujudkan.

Selain itu, pengaruh media komunikasi seperti Televisi, radio, Internet sangat besar dampaknya dalam hal cara pandang manusia Indonesia terhadap ras. Sinetron-sinetron maupun film yang ditayangkan di Televisi dan bioskop yang memvisualisasikan dan mensosialisasikan gaya hidup ras Caucasoid (orang Eropah) turut mempengaruhi cara pandang manusia Indonesia terhadap budayanya sehingga tidak timbul kesadaran untuk mempelajari tindakan sosial dan sebaliknya. Dalam hal ini manusia Indonesia sepertinya lebih mengagung-agungkan/memuja ras Caucasoid berikut dengan gaya hidupnya dan menjadikannya sebagai kelompok acuan (umumnya oleh kaum perempuan) sehingga secara tak langsung mempengaruhi akal dan intelegensi, emosi, kemauan, fantasi dan perilaku manusia Indonesia sehingga terkendala dalam memajukan kebudayaannya sendiri.

Daftar Pustaka :
http://ridwan202.files.wordpress.com/2008/10/snag-010.jpg
http://skyrider27.blogspot.com/2010/03/manusia-dan-kebudayaan.html
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_14.html





LINGKUNGAN HIDUP DI TANGAN KITA

oleh Wanagama Rally Mapala Silvagama pada 06 Juni 2010 jam 18:41
Oleh: Dr. Tasdyanto Rohadi, SP, M.Si
PPLH Regional Jawa Kementrian Lingkungan Hidup

Kualitas lingkungan hidup Indonesia menunjukkan semakin menurun. Menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia (2007), dalam skala kepulauan luas tutupan hutan di Indonesia semakin berkurang, di Papua tinggal 73 %, di Kalimantan 39 %, Sumatera 37 % dan Jawa tinggal 8,2 %. Kualitas air sungai pada 33 sungai di 30 provinsi di Indonesia, 50 % sudah tidak dapat digunakan untuk air baku air minum. Hasil pemantauan udara melalui Air Quality Monitoring System menunjukkan terjadinya peningkatan hari tidak sehat di Kota Jakarta sebanyak 49 hari, di Medan sebanyak 18 hari dan di Surabaya sebanyak 7 hari. Timbulan sampah akibat gaya hidup di perkotaan telah mencapai 5.280 m3/hari di Jakarta Pusat, 9.560 m3/hari di Kota Surabaya, 7.500 m3/hari di Kota Bandung dan 1.132 m3/hari di Kota Yogyakarta.
Dalam skala global, fenomena perubahan iklim mengancam kehidupan di muka bumi. Eldon D. Enger dan Bradley F. Smith (2008), menjelaskan laporan ketiga Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah lembaga panel yang menghimpun sekitar 2500 ilmuwan dari lebih 100 negara, pada tahun 2001 mengeluarkan tiga kesimpulan penting. Pertama, rata-rata kenaikan temperatur di bumi meningkat 0.3 sampai dengan 0.6 oC (0.5 sampai dengan 1.0 oF) dalam 100 tahun terakhir. 1998 adalah tahun terpanas dalam catatan, 2005 adalah panas kedua, dan 2002 adalah tahun panas ketiga. Sepanjang periode yang sama, muka air laut naik 10 sampai 25 sentimeter atau 4 sampai 10 inci. Kedua, terdapat korelasi yang kuat antara meningkatnya temperatur dengan gas rumah kaca di atmosfir. Ketiga, aktifitas manusia menjadi penyebab utama meningkatnya jumlah gas rumah kaca. Benny Joseph (2005; 232) menambahkan penjelasan bahwa gas-gas rumah kaca tersebut menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim dan memberikan beberapa efek terhadap sumberdaya air, terumbu karang, kesehatan, energi, transportasi, kelautan, vegetasi, dan evaporasi. Meningkatnya temperatur global tersebut diperkirakan akan menyebabkan berbagai bencana lingkungan, diantaranya kejadian cuaca ekstrim, naiknya muka air laut, banjir, badai, dan kebakaran hutan. Selain itu juga diprediksi akan menyebabkan berbagai dampak seperti gagal panen, munculnya berbagai penyakit dan punahnya berbagai spesies flora dan fauna .
Pandangan para ahli lingkungan yang tergabung dalam IPCC menegaskan bahwa kerusakan alam lebih karena perilaku manusia, daripada dari pengaruh umur bumi yang sudah semakin uzur. Budaya manusia, sebagai himpunan perilaku manusia cenderung semakin tidak pro lingkungan hidup. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang cenderung merusak alam (Salim 2009; Ma’arif, 2009). Gaya hidup yang materialis-hedonis telah menggeser sikap menghargai dan harmoni terhadap alam (Suhartono, 2005; Hardjasoemantri, 2006b). Pada akhirnya, lingkungan hidup yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, sangat tergantung kepada budaya manusia. Lingkungan hidup semakin dieksploitasi hanya untuk kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia semata, tanpa memperhitungkan keberlanjutannya.
Perkembangan teori-teori di bidang geografi dan kebudayaan memberikan warna sendiri dalam penjelasan interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya. Kaum deterministik yang dipelopori ahli geografi Semple (1911) dan Ellsworth Huntington (1915) dalam Christopher J. Barrow, (1999), meyakini bahwa kebudayaan dibentuk oleh alam sekitarnya atau lingkungan. Pandangan ini dipengaruhi aliran Darwinisme dan Newton tentang konsep hubungan sebab akibat, dimana pendekatan ini melihat faktor-faktor yang mendukung terbentuknya kebudayaan, yaitu faktor-faktor fisik alam; topografi, lokasi geografi, sumberdaya alam dan iklim. Pandangan ini dikenal dengan geographical determinism atau ethnographic environmentalism. Lebih lanjut, para ilmuwan meyakini pandangan environmental determinism tidak akan mati dalam debat keilmuan sosial, genetik dan psikologi. Bahkan, sebagian ahli berpandangan bahwa Teori Gaia sebagai sebagai tipe baru pandangan ini, atau disebut neodeterminism.
Alfred L. Kroeber (1939) dalam Andrew P. Vayda dan Roy A. Rappaport (1968), memberikan pandangan lain dalam melihat hubungan kebudayaan dan lingkungan. Mereka meyakini bahwa faktor lingkungan hanya sebagai penapis terbentuknya unsur budaya tertentu. Pandangan ini dikenal dengan environmental possibilism, yang menganggap bahwa pada dasarnya faktor geografis tidak dapat membentuk suatu kebudayaan manusia. Pembentukan kebudayaan lebih merupakan suatu gejala yang bersifat historis, bahkan superorganis. Dalam pandangan ini dijelaskan bahwa lingkungan hidup sesungguhnya memiliki sifat yang cocok untuk menjelaskan budaya tertentu, namun belum tentu cocok untuk menjelaskan fakta budaya yang lain. Dengan kata lain, lingkungan hidup yang sama tidak menghasilkan budaya yang sama pula.
Pandangan ini direvisi oleh Julian Steward (1955) dan Cliford Geertz (1963) dalam Andrew P. Vayda Dan Roy A. Rappaport (1968) dengan pandangan ekologi budaya, yang memperjelas hubungan timbal balik antara kebudayaan dan lingkungan. Steward dan Geertz memandang dinamika organisasi sosial budaya sebagai produk dari proses adaptasi manusia dengan lingkungannya. Pada kondisi lingkungan tertentu akan tumbuh beberapa pranata atau institusi yang berpola tertentu. Menurut pandangan ini, kebudayaan terbentuk dari pengaruh ekologi yang ada di lingkungan alam dan dari difusi sifat-sifat pembawaan yang ada di lingkungan sosial. Inti dari pandangan ini menjelaskan bahwa antara kebudayaan dan lingkungan hidup memiliki peran besar dan saling mempengaruhi. Lingkungan hidup memiliki pengaruh atas budaya dan perilaku manusia, tetapi pada waktu yang bersamaan manusia juga mempengaruhi perubahan-perubahan lingkungan hidupnya.
Pemikiran bahwa kerusakan lingkungan hidup adalah karena umat manusia semakin menambah keyakinan sebagaimana ditegaskan dalam agama-agama. Islam, dalam al Qur’an surat ar Rum ayat 41 menegaskan bahwa kerusakan lingkungan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia. Kristen dalam Kitab Kejadian pasal 1: 26 – 28, menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia secitra dengan Allah, yang kemudian menyerahkan alam semesta beserta isinya kepada manusia untuk dikuasai dan ditaklukan. Ayat ini membentuk cara pandang antroposentrism dan menjadi landasan perilaku manusia modern yang cenderung mengeksploitasi dan merusak lingkungan hidup (Keraf, 2002). Agama Budha menegaskan bahwa dalam hidup manusia kini berkecamuk tiga nafsu, yaitu serakah, benci dan kegelapan batin. Nafsu kegelapan batin telah mendorong manusia mencemarkan dan merusak lingkungan (Jotidhammo, 2006). Sementara itu, Agama Hindu lebih melihat gemerlapnya budaya modern semakin menggeser kehidupan alami dan cenderung merusak bumi, yang dalam pandangan Hindu dikenal dengan Ibu Pertiwi (Suryadharma, 2006). Pemikiran dan keyakinan umat manusia terkait dengan lingkungan hidup tersebut terus didalami para ahli dengan mempertemukan kajian keilmuan agama dan lingkungan (eco-theologi).
Perkembangan teori lingkungan terus mendapat input dari berbagai teori lain. Konstruksi teori lintas gerbang keilmuan tersebut, selain bertujuan membangun pandangan keilmuan yang komprehensif, juga di sisi lain ingin mencari penyelesaian masalah-masalah lingkungan yang semakin kompleks. Hanya saja, sampai saat ini keberadaan teori-teori yang telah mapan terkait budaya dan perilaku manusia terhadap lingkungan hidupnya, terutama Etika Lingkungan (Environmental Ethics), Teologi Lingkungan (Eco-theology) dan Hukum Lingkungan (Environmental Law) belum dapat menjelaskan kualitas interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya. Dengan demikian, sesungguhnya sangat diperlukan pendalaman teori-teori kebudayaan dengan lingkungan hidup dalam rangka mengkonstruksi teori budaya atau perilaku lingkungan .
Kenyataannya, dalam masyarakat kini telah terjadi kesenjangan antara etika, moral dan norma yang ada dengan perilaku sehari-hari (Marfai, 2005; Salim, 2009; Ma’arif, 2009; dan Sairin, 2009). Lebih lanjut, Sjafri Sairin (2009) menjelaskan bahwa budaya perilaku (behaviour culture) telah menjauh dari budaya idealis yang dicita-citakan (expected culture). Dalam sistem kebudayaan expected culture ini terwujud dalam etika, norma, hukum dan pranata sosial lainnya. Dalam konteks budaya lingkungan, perilaku masyarakat juga tampak semakin menjauh dari etika, norma, hukum dan kearifan-kearifan lingkungan.
Di tengah kecenderungan lingkungan hidup yang semakin rusak, yang diyakini karena ulah manusia, para ahli terus mencari hakikat hubungan manusia dan lingkungan hidupnya. Berdasarkan sejarah interaksi manusia dan lingkungan, Sudharto P. Hadi (2009) dan M. Soerjani dan Arief Yuwono (2005), dkk., memetakan hubungan manusia dengan alam dalam tahapan; masyarakat zaman batu, masyarakat pemburu, masyarakat petani, masyarakat industri dan masyarakat warga bumi. Perkembangan masyarakat dari zaman batu sampai dengan masyarakat industri, menunjukkan pergeseran yang semakin merusak alam sekitarnya. Bahkan, kini umat manusia sedang dalam tahapan paling merusak lingkungan, yang disebabkan dianutnya pandangan antroposentrisme melalui praktik industrialisasi (Keraf, 2002). Ke depan, diharapkan lambat laun umat manusia akan melewati masa transisi, menuju masyarakat warga bumi atau zaman ekologis (Tucker and Grimm, 2003). Berbagai upaya sedang dirumuskan dalam ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial dan di dalam pemikiran filsafat dan agama dalam membangun pandangan dunia ekologis.
Emil Salim (1992) menegaskan bahwa dari berbagai sebab kerusakan lingkungan, terdapat dua sebab pokok yaitu ekonomi dan wawasan penglihatan (out-look). Dijelaskan Emil Salim bahwa cara penglihatan ekonomi yang mempengaruhi proses pembangunan dan wawasan penglihatan manusia dalam menanggapi tantangan kehidupan dan pembangunan menjadi penyebab kerusakan lingkungan hidup. Hal tersebut diperparah dengan budaya konsumtif masyarakat yang kini tidak hanya bertujuan mencukupi kebutuhan hidup (needs), namun lebih pada pemuasan keinginan hidup (wants). Hal yang lebih mendasar ditegaskan Ahmad Safi’i Ma’arif (2009) bahwa akar falsafah ilmu pengetahuan Cogito Ergo Sum yang dicetuskan oleh Rene Descartes telah mendasari penyebab lahirnya pandangan yang merusak alam. Kekuatan pikir manusia tumbuh melahirkan teknologi dan industri yang maha dasyat, namun di sisi lain mengorbankan alam.
Bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki budaya harmoni terhadap lingkungan hidup, terutama dengan dimilikinya akar falsafah tri hita karana di Bali, Berguru pada Alam di Minangkabau dan hamemayu hayuning bawana di Jawa (Tandjung, 1990). Namun sayangnya budaya ramah lingkungan yang dimiliki Bangsa Indonesia terancam tereliminasi (Hardjasoemantri, 2006b). Budaya lokal ramah lingkungan terdesak oleh budaya baru yang kurang ramah lingkungan. Pada komunitas masyarakat di Indonesia, kearifan terhadap lingkungan hidup semakin hilang. Di daerah-daerah di Jawa yang dahulu mempunyai kearifan tradisi seperti nyabuk gunung, bersih desa, dan larangan-larangan (pamali) untuk tidak merusak lingkungan hidup, kini sudah sulit dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada komunitas masyarakat semakin nampak muncul golongan orang yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, tanpa menghiraukan kualitas lingkungan hidup. Norma dan etika terhadap lingkungan hidup yang diwariskan dari nenek moyang, juga terancam oleh gaya hidup materalis-hedonis, yang konsumtif dan mengejar kesenangan semata (Suhartono, 2005). Fenomena ini sangat terlihat di perkotaan, dengan adanya para profesional yang berorientasi pada bisnis dan kurang peduli lingkungan hidup. Pada zaman tanpa batas ini, kebudayaan asing akan semakin gencar memporak-porandakan budaya lokal ke-Indonesiaan.
Di Indonesia, salah satu kota yang memiliki dinamika budaya lingkungan hidup sangat tinggi adalah Kota Yogyakarta. Berdasarkan letak geografis, Kota Yogyakarta memiliki kekhasan alam antara lautan dan pegunungan. Kota Yogyakarta memiliki Kraton Mataram yang masih eksis sebagai benteng tradisi Jawa. Falsafah hamemayu hayuning bawana yang diwarisi dari Sultan Agung, Raja Mataram, menegaskan hubungan harmoni antara manusia dengan Sang Maha Pencipta, sesama manusia dan lingkungan hidupnya. Kota Yogyakarta juga didatangi mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia yang membawa budaya daerah masing-masing, sehingga penduduknya sangat beragam (plural). Bagaimana lingkungan hidup Yogyakarta? Apa peran Mahasiswa?

Papper disampaikan dalam Seminar Nasional Mapala Silvagama "Kontribusi Dunia Pendidikan dalam Upaya Perbaikan Lingkungan" di fakultas Kehutanan UGM


Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai Nasionalisme

·         lobalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.
·         Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)
Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar  luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.
·         Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1.      Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
2.      Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3.      Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4.      Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5.      Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.

·         Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
·         Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
1.      Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2.      Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3.      Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4.      Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
5.      Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.
Referensi
-Jamli, Edison dkk.Kewarganegaraan.2005.Jakarta: Bumi Akasara
-Krsna @Yahoo.com. Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.2005.internet:Public Jurnal

Dikutip dari: http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=7124&post=3